[FISIP STATEMENT] Between the Politics and the Politics, Where is the Position of Academics?

SURABAYA–ADM WEB | Akhir-akhir ini, banyak akademisi perguruan tinggi yang menyatakan sikapnya atas penyalahgunaan kekuasaan presiden Indonesia. Penyalahgunaan wewenang presiden oleh Joko Widodo membuat banyak akademisi merasa perlu untuk bersuara. Apalagi, penyalahgunaan wewenang tersebut berpotensi untuk merusak demokrasi Indonesia. Melalui FISIP STATEMENT ini, Ucu Martanto, S.IP., MA., dosen Ilmu Politik FISIP UNAIR, mencoba membagikan pemikirannya terkait isu yang sedang hangat sekarang. 

Posisi Perguruan Tinggi dan Akademisi di Indonesia

“Sejarah keberadaan perguruan tinggi di Indonesia tidak cuma melahirkan intelektual, tetapi juga menjadi rujukan bagi penguasa terkait persoalan kebijakan publik. Kalau misal penguasa sudah kelaur dari jalurnya, perguruan tinggi yang kemudian bersuara. Dalam konteks negara ini, saya kira suara dari perguruan tinggi harus didengar. Saya pribadi melihat suara-suara yang disampaikan oleh para akademisi sebagai bentuk ketulusan mereka,” ujar Ucu. 

Menurut Ucu, apa yang dilakukan oleh perguruan tinggi bukan bentuk politik praktis untuk mengajar publik memilih salah satu paslon. Namun, sikap yang ditunjukkan para akademisi merupakan bentuk kritik atas penyalahgunaan kekuasaan. Presiden Joko Widodo dipandang sudah melakukan abuse of power atas kewenangannya selaku presiden. Ucu memandang praktik tersebut dapat mengancam dan menurunkan kualitas demokrasi Indonesia.  

“Saya rasa Jokowi sudah offside dan melakukan abuse of power. Salah satu contohnya terkait skandal keputusan MK mengenai batas usia pencalonan cawapres. Di situ sudah jelas ada konflik kepentingan dan jaring penguasa yang masuk untuk mengintervensi keputusan MK. Kemudian ada lagi soal penyaluran bansos di awal tahun secara masif. Jadi, yang disasar oleh para akademisi bukan pilihan Jokowi secara personal, tetapi kewenangannya sebagai presiden yang sudah melewati batas” sambungnya 

Suara dari Para Akademisi 

Ucu menduga gerakan lebih besar akan muncul apabila pemerintah tidak mendengar saran-saran dari para akademisi, apalagi kontestasi pemilu kian dekat. Jika skandal kekuasaan jika tidak segera direspon dan diselesaikan oleh pemerintah, gelombang protes akan terus bergulir dan berkembang semakin besar. Hal tersebut tentu berdampak lebih luas baik secara politik maupun ekonomi. Ucu pun menyarankan agar pemerintah segera merespon suara dari para akademisi. 

“Kata politik sebetulnya memiliki dua makna berbeda, yaitu the political dan the politics. The Political berarti sebuah tatanan untuk kebaikan bersama, sedangkan the politics merujuk pada politik sehari-hari atau biasa disebut politik praktis. Politisi itu menjalankan politik praktis dalam kesehariannya, misal di ranah dewan atau legislatif. Di sisi lain, akademisi bukan berada di ranah itu, tetapi di ranah the political. Saya menegaskan bahwa suara-suara kampus menyasar ranah the political,” terang Ucu.  

Semenjak UGM bersuara, tidak sedikit pihak yang menganggap gerakan kampus-kampus sebagai gerakan pesanan dari paslon 01 dan 03 untuk mendiskreditkan paslon 02. Namun, Ucu meyakini bahwa gerakan dari kampus tidak sekonyong-konyong merupakan gerakan pesanan. Bagi Ucu, para akademisi yang saat ini sedang menyuarakan hal yang lebih besar dibandingkan sekedar politik praktis. 

“Kami saat ini bersuara mengenai tatanan politik, tetapi mereka menganggap suara kami sebagai bentuk dukungan kepada paslon tertentu. Jadi, tidak nyambung kalau gerakan para akademisi dicap sebagai politics, padahal kami bergerak di level the political,” tegasnya. 

Closing Statement

“Tentu ada pihak-pihak yang mencoba untuk mengkerdilkan gerakan dari para akademisi. Misal, mereka memprotes mengapa kami membawa nama institusi UNAIR. Tentu kami merasa berhak untuk mencantumkan nama institusi, sama halnya ketika kami menulis di kolom opini, berbicara di seminar, hingga menulis di jurnal. Identitas yang kami bawa sebagai akademisi UNAIR pastinya mempengaruhi kredibilitas kritikan yang kami sampaikan,” pungkasnya. 

Artikel ini merefleksikan nilai SDGs ke-4 Quality Education (AS)

source
https://unair.ac.id