[FISIP STATEMENT] National Press Day is not just a ceremony

SURABAYA–ADM WEB | Tanggal 9 Februari diperingati setiap tahunnya sebagai Hari Pers Nasional (HPN). Penetapan tanggal 9 Februari sebagai HPN bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Persatuan Wartawan Indonesia. Sejatinya, HPN merupakan upaya untuk menghargai perjuangan dan dedikasi setiap insan pers di seluruh Indonesia. Melalui FISIP STATEMENT ini, Irfan Wahyudi, S.Sos., M.Comms., Ph.D. selaku dosen Ilmu Komunikasi FISIP UNAIR mencoba membagikan sudut pandangnya mengenai HPN kepada pembaca. 

Pilar Keempat Demokrasi 

“Hari Pers Nasional menjadi krusial sebab mengingatkan kita bahwa pers masih berperan penting di dalam masyarakat sebagai pilar keempat demokrasi. Pers menjadi penjaga kebenaran melalui informasi/berita yang terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan, terutama di situasi seperti sekarang menjelang pemilu” kata Irfan. 

Menurut Irfan, HPN bukanlah sebuah seremonial belaka. HPN memiliki makna yang lebih dalam untuk mengingatkan masyarakat bahwa pers merupakan penjaga dari keberlangsungan demokrasi itu sendiri. Apalagi saat ini, pers juga menghadapi tantangan yang kian kuat di mana informasi semakin mudah diakses oleh semua orang. Dengan begitu, pers perlu menegaskan perannya sebagai katalisator untuk mengelola informasi yang beredar.

Keberpihakan dan Tantangan Pers

“Tentu menjadi tugas dari pers untuk berpihak kepada kaum-kaum marjinal atau mereka yang tidak bisa bersuara. Giving the voice to the voiceless. Aspirasi mereka perlu untuk disuarakan agar mendapat perhatian dari pemerintah. Demokrasi pun memberi ruang untuk hal-hal tersebut,” jelasnya. 

Pers pun tidak luput dari tantangan, utamanya terkait arus informasi yang kian cepat. Bagi Irfan, pers harus melihat dirinya sendiri sebagai pihak yang mampu mengelola informasi dan menghasilkan produk berita kepada masyarakat. 

“Tugas pers adalah mengemas informasi menjadi berita yang dapat dipercaya. Perkembangan teknologi informasi menjadi tantangan di mana pers dituntut untuk mempertanggungjawabkan berita yang ia buat. Kemudian ada faktor konglomerasi media yang mengarahkan keberpihakan atau porsi pemberitaan yang tidak imbang juga menjadi tantangan besar di sini,” ungkap Irfan. 

Pers dan FISIP UNAIR

FISIP UNAIR sendiri memiliki sejarah yang panjang dengan penegakan kemerdekaan pers, baik melalui mata kuliah maupun lembaga pers semacam Retorika. Bahkan, tidak jarang lulusan FISIP UNAIR yang berkecimpung dan memimpin beberapa lembaga pers di Indonesia. 

Irfan memandang hari pers sebagai momentum yang krusial bagi masyarakat untuk kembali melihat peran sentral pers. Segala hal yang berkaitan dengan akses informasi patut untuk dikritik, khususnya berita-berita yang dibuat oleh pers. Walaupun demikian, pers sebagai lembaga telah melalui serangkaian proses dalam pembuatan berita. 

“Mahasiswa bisa memakai produk berita dari lembaga-lembaga pers, tetapi juga perlu mengkritisinya. Yang perlu diingat adalah jangan sampai kita menciptakan disinformasi/misinformasi untuk membenarkan sudut pandang yang dapat memecah belah masyarakat. Mahasiswa pun dapat menjadi produsen berita sekaligus mendukung peran dari pers itu sendiri. Mendukung pers adalah sebuah kemutlakan,” pungkasnya. 

 Image by Rochak Shukla on Freepik

Artikel ini merefleksikan nilai SDGs ke-4 Quality Education (AS).

source
https://unair.ac.id