FISIP UNAIR Alexa Room Becomes Stage for Documentary Film Screening at ICAS 13

SURABAYA – ADM WEB | International Convention of Asia Scholars (ICAS) ke-13 yang digelar di Universitas Airlangga (UNAIR), Surabaya, pada hari ketiga (30/07/2024) berjalan sukses. Total terdapat 111 agenda yang menyuguhkan topik beragam. Mulai dari roundtable, panel diskusi, workshop, heritage walk tracing, reading and listening session, hingga pemutaran film dokumenter.

Salah satu kegiatan yang cukup menarik perhatian yaitu pemutaran film dokumenter “Rio Paradiso: Voices Behind and Around the Walls” di Ruang Alexa, Gedung C FISIP UNAIR. Film garapan Dr. Ganga Rajinee Dissanayaka, Ph.D. ini menyajikan keterkaitan antara sinema bersejarah, pluralitas masyarakat setempat, keterhubungan lingkungan, infrastruktur perkotaan, hingga area perbatasan kota.

Secara keseluruhan, film itu merekam narasi dari pemilik bioskop, anggota staf, dan para pengunjung dari masa kejayaan Rio Cinema sebelum tragedi kerusuhan anti-Tamil di Sri Lanka pada tahun 1983. 

Kemudian, sesi dilanjut dengan tanya jawab yang dipandu langsung oleh Dr. Gangga. Partisipan tampak antusias dengan melakukan diskusi dua arah bersama sang sutradara.

Tidak hanya film Rio Paradiso saja yang ditayangkan pada penyelenggaraan ICAS ke-13, terdapat pula sejumlah film dokumenter lain. Seperti The End of Bitterness, Belongs to the Field Social Pilot, Mhara Pichchar (Our Film), I’m Not the River Jhelum, dan masih banyak lagi.

Pemutaran sederet film tersebut berlangsung di Ruang Alexa FISIP UNAIR. Pasalnya, dengan kelengkapan audio-visual dan tata ruang yang mendukung, ruang multimedia itu cukup ideal untuk pemutaran film dokumenter. Fasilitas ini memberikan kenyamanan bagi peserta selama menyaksikan tayangan.

Panel Diskusi

Selain itu, terdapat juga panel diskusi yang tak kalah menarik, yaitu “The Implementation of Norms of Human Rights, Protection, and Asylum in Southeast Asia”. Melalui presentasi makalah, diskusi panel ini memberikan wawasan yang komprehensif mengenai isu-isu kemanusiaan di Asia Tenggara.

Bertempat di Ruang P2.03, Gedung Pasca Sarjana, diskusi ini memantik secara kolektif empat makalah dengan topik beragam. Mulai dari pergerakan dan penerimaan pengungsi, pencari suaka, dan orang-orang yang diperdagangkan di daerah-daerah tertentu.

“Kami menghubungkan penerimaan lokal terhadap pencari suaka, orang yang diperdagangkan, dan pengungsi dalam konteks komunitas dan kelembagaan tertentu. Pastinya sesuai hukum regional (ASEAN) dan internasional,” papar Melissa Curley, salah satu panelis.

Adapun kerangka hukum yang digunakan yaitu Konvensi Pengungsi dan Protokol Perdagangan Orang. Hal ini bertujuan untuk mempromosikan norma-norma hak asasi manusia mengenai suaka, perlindungan, dan prinsip non-refoulement. Namun, implementasi kerangka hukum ini seringkali menghadapi berbagai tantangan, seperti kurangnya sumber daya, kapasitas institusi yang terbatas, dan tekanan politik.

Melalui panel ini, para peserta akan mendiskusikan cara menyebarkan sekaligus menerapkan norma-norma internasional di tingkat negara, regional, dan komunitas. Khususnya, mengkaji berbagai studi kasus untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan dalam implementasi norma-norma internasional. Lebih dari itu, merumuskan rekomendasi kebijakan untuk memperkuat penerapan norma-norma tersebut di masa depan.

Artikel ini merefleksikan poin ke-11 dan ke-16 SDGs yang dicanangkan oleh PBB. (DFD). 

source
https://unair.ac.id