Revitalization of the Surabaya Cultural Heritage Area through ICAS 13 Panel Discussion

SURABAYA–ADM WEB | Saat ini, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya tengah gencar melakukan revitalisasi kawasan bersejarah. Berkaca dari Kota Tua di Jakarta dan Semarang, Pemkot Surabaya ingin membangun kawasan bersejarah yang dapat menjadi daya tarik wisata. Melalui salah satu diskusi panel di International Convention of Asia Scholars ke-13 yang berlangsung pada Senin (29/07/2024) lalu, Pemkot Surabaya mengadakan diskusi dengan berbagia akademisi terkait konsep pemngembagan Kota Lama Surabaya. 

Diskusi yang bertajuk “Towards the Surabaya Old Town Heritage Revitalization Program: Prospects, Challenges, and Its Future” tersebut dipandu oleh Adrian Perkasa dan Paul E. Rabe dari International Institute of Asian Studies (IIAS). Pemkot Surabaya sendiri diwakili oleh Dr. Ikhsan selaku Sekretaris Daerah (Sekda) Surabaya. 

Roadmap Revitalisasi Kawasan Cagar Budaya Surabaya

Dalam presentasinya, Dr. Ikhsan menegaskan komitmen Pemkot Surabaya untuk merevitalisasi berbagai cagar budaya yang tersebar di Surabaya. Sejauh ini, Pemkot Surabaya akan menargetkan revitalisasi terhadap 286 bangunan cagar budaya dan 10 kawasan cagar budaya. Nantinya, kawasan cagar budaya itu akan dibagi ke dalam tiga zona, yaitu zona Eropa, zona Cina, dan zona Arab. 

Lebih lanjut, perencanaan tersebut tertulis dalam Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 8 Tahun 2018 tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi Kota Surabaya tahun 2018-20208.  

“Rencana kami nantinya akan menerapkan kolaborasi pentahelix di mana kami sebagai pemerintah akan bekerja sama dengan akademisi, pelaku usaha, masyarakat/komunitas, dan media untuk mewujudkan revitalisasi kawasan cagar budaya,” ujar Dr. Ikhsan. 

Berbagai fasilitas penunjang pun tengah dibangun untuk mendukung revitalisasi kawasan cagar budaya, seperti pembangunan trotoar untuk mewujudkan kawasan yang walkable, revitalisasi eksterior bangunan cagar budaya, dan aktivasi area belanja dengan memberdayakan UMKM setempat.  

Selain itu, Pemkot Surabaya juga telah membuat roadmap untuk mendukung pariwisata di kawasan cagar budaya. Misalnya, menyediakan pusat informasi wisata, memberikan edukasi sejarah, menyediakan transportasi massal, hingga melakukan branding melalui berbagai media.  

“Kerja sama dengan berbagai pihak tentu sangat pentin. Misalnya, kami bekerja sama dengan perusahaan melalui mekanisme corporate social responsibility (CSR) untuk merevitalisasi eksterior bangunan cagar budaya. Kami juga bekerja sama dengan pelaku usaha, seperti dengan para pemilik toko di kawasan Kya-Kya untuk memasang papan nama berbahasa Mandarin,” sambungnya. 

Kritikan dan Masukan dari Akademisi

Seusai pemaparan materi, panel diskusi kemudian dilanjutkan dengan sesi tanya jawab yang dipandu oleh Adrian dan Paul selaku moderator. Beberapa akademisi ikut memberikan masukan terkait revitalisasi Kota Lama Surabaya yang saat ini tengah digarap oleh Pemkot. 

Lambertus Christian Grijns, Duta Besar Belanda untuk Indonesia melalui argumennya menyebutkan pentingnya keterlibatan masyarakat sekitar kawasan cagar budaya. Menurutnya, masyarakat merupakan aktor sentral yang menjadi penentu arah perkembangan kawasan cagar budaya ke depan. 

“Saya akui Pemkot Surabaya saat ini tengah melakukan sesuatu yang mengesankan. Namun, apa yang akan Pemkot lakukan setelah melakukan revitalisasi? Bagaimana Pemkot mendapatkan pemasukan setelah menjadikan kawasan cagar budaya tersebut sebagai objek wisata? Oleh karenanya penting untuk mengikutsertakan dan memberdayakan masyarakat sekitar,” terangnya. 

Senada dengan Lambert, Punto Wijayanto, dosen Universitas Trisakti, ikut menegaskan pentingnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan kawasan cagar budaya. Baginya, salah satu indikator kesuksesan revitalisasi kawasan adalah partisipasi aktif masyarakat sekitar. Masyarakat akan mendukung proyek apabila mereka dilibatkan secara penuh. 

Selain mereka, kritikan terhadap perencanaan kawasan cagar budaya juga tidak lepas dari kurangnya revitalisasi bangunan prakolonial. Hal tersebut diungkapkan oleh Maulana Ibrahim, dosen Universitas Khairun Ternate. 

“Kita selama ini terlalu fokus untuk merevitalisasi bangunan peninggalan kolonial. Namun, bagaimana dengan periode sebelum kolonialisasi, misalnya era Hindu-Budha maupun kesultanan Islam? Seharusnya bangunan peninggalan prakolonial juga perlu dilestarikan sebagai media edukasi kepada generasi muda,” ungkapnya. 

Artikel ini merefleksikan nilai SDGs ke-11 Sustainable Cities and Communities. (AS).

source
https://unair.ac.id