ICAS 13 Panel Discussion, How Indonesia's Strategy for Preserving Traditional Culture

SURABAYA–ADM WEB | Indonesia sudah lama terkenal akan keberagaman budaya yang dimilikinya. Misalnya, bahasa daerah, aliran kepercayaan, hingga sistem sosial masyarakat. Namun, budaya yang dimiliki oleh Indonesia tidak terlepas dari tantangan globalisasi. Semakin mudah anak muda mengakses informasi, semakin mudah pula bagi mereka untuk terpapar budaya luar. 

Melalui salah satu diskusi panel di International Convention of Asia Scholars ke-13 yang berlangsung pada Senin (29/07/2024) lalu, pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Hilmar Farid mengajak para akademisi dari berbagai negara untuk mendiskusikan langkah strategis Indonesia dalam melestarikan kebudayaannya di tengah arus globalisasi. 

Diskusi yang bertajuk “Indonesia Cultural Strategy: Challenges and Contributions in International Context” tersebut dipandu oleh Adrian Perkasa dari International Institute of Asian Studies (IIAS) dan Lina Puryanti dari UNAIR

Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kemendikbud, dalam diskusinya menekankan komitmen pemerintah Indonesia untuk melestarikan kebudayaan tradisional. Komitmen tersebut kemudian tertuang dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Undang-undang tersebut lalu menjadi dasar dari Strategi Kebudayaan 2022 yang rencananya akan berlaku hingga 20 tahun mendatang. 

“Indonesia sendiri tercatat sebagai negara dengan keberagaman biocultural terbesar di dunia. Dalam hal ini, Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan menjadi komitmen kami untuk melestarikan kekayaan tersebut. Sudah jelas negara harus mengambil peran di situ,” terangnya. 

Matthew Cohen, seorang pengamat budaya dari University of Connecticut, memuji langkah pemerintah Indonesia melalui penetapan Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan. Menurutnya, komitmen pemerintah Indonesia tidak hanya untuk menarik wisatawan, tetapi juga ingin menciptakan dunia yang lebih baik.

Hal senada pun diungkapkan oleh Marieke Bloembergen, peneliti dari Royal Netherlands institute of Southeast Asian and Caribbean Studies. 

“Bagi saya, undang-undang ini tidak hanya ditujukan untuk menjaga budaya tradisional Indonesia. Lebih dari itu, undang-undang itu juga menjadi komitmen pemerintah untuk memainkan peran dalam melestarikan budaya lokal,” ungkapnya. 

Tanya Jawab dengan Akademisi

Selain mendapat pujian, komitmen pemerintah Indonesia untuk melestarikan budaya tradisional juga mendapat kritikan dari para akademisi. Misalnya, kritikan yang dilontarkan oleh Maulana Ibrahim dari Universitas Khairun Ternate mengenai koordinasi antar kementerian untuk mencapai Strategi Kebudayaan. 

“Saya boleh bilang hubungan antar kementerian merupakan sesuatu yang dinamis. Kami berusaha untuk menjalin koordinasi yang baik. Sebagai contoh upaya untuk melindungi cagar budaya, pastinya kami dari Kementrian Pendidikan harus berkoordinasi dengan Kementerian PUPR dan Kementrian Lingkungan Hidup. Akan tetapi, semuanya masih sebatas policy dan belum sampai ke practice,” ujar Hilmar. 

Selain itu, transisi kepemimpinan pada tahun ini juga menjadi perhatian banyak pihak, salah satunya Zaki dari Yogyakarta. Ia menanyakan apakah komitmen pemerintah untuk melestarikan kebudayaan akan tetap sama setelah pergantian kursi kepemimpinan. 

“Kalau dilihat dari visi misi presiden terpilih, komitmennya masih sama untuk melestarikan kebudayaan tradisional. Kami masih berada di jalan optimis untuk mencapai visi pemajuan kebudayaan,” ucap Hilmar. 

Artikel ini merefleksikan nilai SDGs ke-11 Sustainable Cities and Communities dan ke-17 Partnerships for the Goals. (AS).

source
https://unair.ac.id