Tantangan Partisipasi Politik Perempuan dalam Budaya Patriarki

Partisipasi perempuan dalam dunia politik merupakan topik menarik yang perlu dikaji. Meskipun negara-negara demokrasi industri barat seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa telah memberikan hak-hak politik kepada perempuan, namun keterlibatan mereka masih jauh tertinggal dibandingkan laki-laki dalam berbagai bentuk partisipasi politik.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Dosen Sosiologi dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR), Siti Mas’udah, S. Sos., M.Si., mengungkapkan peran perempuan dalam demokrasi. Siti berpendapat bahwa partisipasi politik perempuan dalam masyarakat menghadapi ketimpangan sosial yang disebabkan oleh budaya patriarki yang kuat dan sistem politik yang ada. Tantangan inilah yang harus dilalui oleh perempuan untuk berpartisipasi dalam berpolitik.

Aktivitas politik masih dianggap sebagai domain yang lebih cocok untuk laki-laki, sehingga peran perempuan dalam politik sering diabaikan. Feminitas dianggap menghalangi keterlibatan perempuan dalam politik dan menjauhkan mereka dari konteks politik. Siti juga mengungkapkan bahwa beberapa orang tidak ingin melihat perempuan terlibat dalam politik dan memandang politik sebagai ranah maskulin.

“Para pemilih cenderung memilih laki-laki sebagai pemimpin, dan jika memilih perempuan, mereka harus siap menghadapi diskriminasi politik,” ungkapnya. Beliau menambahkan bahwa para pemilih mengharapkan politisi dan pemimpin memiliki sifat maskulin. Sifat maskulin dianggap lebih diperlukan dalam posisi-posisi yang lebih tinggi. Budaya politik yang patriarkal masih menjadi faktor utama yang mempengaruhi partisipasi perempuan dalam politik. Politik yang dianggap maskulin menandakan dominasi kekuatan laki-laki di ranah publik, terutama dalam politik.

Selain itu, partai politik juga berperan penting dalam menentukan partisipasi politik perempuan. Partai politik memiliki peran yang sangat vital bagi siapa pun yang ingin terlibat dalam politik. Siti juga menyatakan bahwa keberadaan perempuan dalam posisi kepemimpinan sangat penting dalam memfasilitasi partisipasi perempuan lainnya dalam partai politik.

Beberapa faktor yang menghambat partisipasi perempuan dalam demokrasi termasuk feminitas dan konstruksinya, kepentingan politik, sosialisasi politik, dan budaya politik yang patriarkal yang terlihat dalam konteks politik di Punjab, Pakistan. Meskipun perempuan diizinkan memberikan suara, namun kebanyakan dari mereka masih berada di bawah pengaruh atau saran anggota keluarga laki-laki. Masalah atribut feminin seperti ketaatan, ketergantungan, dan kepasifan tidak sesuai dengan kegiatan politik di Punjab. Sosialisasi gender dan ketaatan yang kuat terhadap peran gender tradisional mengajarkan perempuan untuk terbatas pada kegiatan domestik dan kurang siap untuk terlibat di ranah publik.

Perempuan masih terperangkap dalam peran politik yang melemahkan, dengan fokus pada peran mereka dalam melahirkan anak, membesarkan keluarga, memberikan kasih sayang, dan merawat orang tua, suami, serta urusan rumah tangga. Lingkungan rumah dianggap sebagai ruang ideal dan normatif bagi perempuan untuk beraktivitas.

Dengan demikian, Siti menyimpulkan bahwa laki-laki masih mendominasi ruang publik. Cita-cita yang bersifat maskulin menjadi dasar dalam praktik sosial dan hubungan sosial di masyarakat. Hal ini telah menjadi bagian dari budaya, struktur sosial, dan organisasi sosial dalam masyarakat yang patriarkal. Akibatnya, perempuan masih dianggap belum mampu memberikan kontribusi yang signifikan terhadap ranah publik.