Budaya Diplomasi dan Manajemen Kekuatan Besar dalam ASEAN

Berangkat dari pemahaman konseptual masyarakat internasional regional, ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) berhasil mempertahankan eksistensinya dengan menciptakan dan melestarikan institusi-institusi fundamentalnya. Dalam menghadapi tatanan kawasan yang sedang diperebutkan saat ini, budaya diplomasi dan manajemen kekuatan besar menjadi faktor yang sangat relevan. Budaya diplomatik menjadi inti dari kemampuan ASEAN dalam menangani isu-isu kritis yang dihadapinya. Budaya diplomatik didefinisikan sebagai “kekayaan gagasan dan nilai-nilai yang dimiliki oleh perwakilan resmi negara”. Gagasan dan nilai ini menjadi pedoman praktis, terdiri dari prinsip-prinsip umum tertentu dari prosedur, untuk interaksi antar anggota masyarakat negara. Namun, standar keunggulan ditentukan berdasarkan tradisi interpretasi yang berbeda.

Dalam konteks ASEAN, aktivitas kolektifnya didasarkan pada norma-norma khusus yang diadopsi dari warisan budaya dan politik yang beragam di kawasan tersebut. Kedua dimensi budaya, yaitu “budaya” sebagai fokus identitas dan persatuan, serta “budaya” sebagai perlengkapan operasional, menjadi penting. Oleh karena itu, dalam kasus ASEAN, elemen dominan dari faktor budaya bergantung pada persepsi para pemimpin Asosiasi tentang tujuan bersama yang mereka kehendaki sebagai sebuah komunitas.

Dalam praktik diplomasi yang lebih luas, hubungan antarnegara, baik konflik maupun kerja sama, melibatkan aspek ekspresi budaya nasional. Budaya diplomasi khusus ini ditemukan dalam bagaimana negara-negara kawasan mengembangkan sistem manajemen krisis, termasuk manajemen kekuatan besar. Konsep manajemen kekuatan besar dalam hubungan internasional mencakup beberapa perspektif teoretis, seperti tata kelola global dan regional. Manajemen kekuatan besar ini penting tidak hanya dalam menjalankan peran internasional negara-negara kuat, tetapi juga untuk melegitimasi peran mereka dengan mengambil tanggung jawab internasional, terutama dalam menjaga tatanan yang ada. Dalam konteks ASEAN, penting untuk menghargai konsep dan praktik peran organisasi regional, karena organisasi regional ini mendorong perubahan dalam institusi yang mendasari masyarakat internasional.

Sejak berdiri pada tahun 1967, ASEAN telah memungkinkan manajemen kekuatan besar dalam hubungan regional dengan mengembangkan lingkungan geostrategis yang relatif stabil dan damai, sehingga tidak ada perang besar yang pernah terjadi. Dengan demikian, pembangunan infrastruktur normatif ASEAN telah mengembangkan tatanan berbasis norma di Asia Tenggara. Namun, terdapat perbedaan pendapat tentang peran dan posisi ASEAN dalam konteks regional. Beberapa pandangan realis meremehkan manfaat pengaturan keamanan dan multilateralisme yang dianut oleh ASEAN, sementara pandangan liberalis lebih optimis dan mengasosiasikan capaian institusional ASEAN dengan ekspansi skema integrasi ekonomi global. Pendekatan konstruktivis menyoroti pentingnya proyek komunitas keamanan yang berkembang untuk menjaga perdamaian dan stabilitas di Asia Tenggara. Namun, terdapat juga argumen-argumen konstruktivis yang perlu diperhatikan, yang terlalu fokus pada penetapan norma dan kepatuhan negara-negara Asia Tenggara terhadap lembaga-lembaga negara.

Secara keseluruhan, ASEAN sebagai organisasi regional telah berperan penting dalam menciptakan lingkungan yang relatif stabil dan damai di Asia Tenggara melalui pengembangan norma-norma dan kerjasama regional. Budaya diplomasi dan manajemen kekuatan besar menjadi faktor utama yang memengaruhi dinamika politik dan sosial dalam konteks regional ASEAN.