Upah Dosen Tidak Seperti Yang Dibayangkan? Ini Kata Pakar Universitas Airlangga

Tagar #JanganJadiDosen yang sedang viral di media sosial X merefleksikan kondisi nyata terkait upah dan kesejahteraan para dosen. Fenomena ini dimulai dari keluhan warganet mengenai rendahnya gaji dosen yang tidak sebanding dengan beban kerja yang mereka emban. Gitadi Tegas Supramudyo, seorang Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Airlangga (UNAIR), turut menyuarakan pendapatnya mengenai hal ini. Menurutnya, pemerintah perlu menetapkan standar kebijakan yang lebih optimal terkait upah dosen. “Saya berpandangan bahwa diperlukan standar kebijakan yang jelas. Kita harus kembali mengacu pada konsep besar pendidikan Indonesia yang belakangan mengalami perubahan yang cepat,” ungkapnya.

Masalah kebijakan upah dosen di Indonesia, menurut Gitadi, memiliki ketimpangan yang signifikan. Hal ini muncul sebagai hasil dari kebijakan negara terkait keuangan dan pendidikan yang masih belum mencapai optimalitas. “Saya melihat ini berkaitan dengan kebijakan negara terutama di bidang pendidikan. Di sisi lain, faktor ekonomi juga ikut mempengaruhi. Dahulu, menjadi dosen adalah pilihan yang diambil oleh lulusan terbaik, namun sekarang banyak yang lebih memilih profesi lain karena tunjangan dan gaji yang lebih menggiurkan,” jelas Gitadi.

Perubahan dinamika sistem pendidikan juga turut menjadi pemicu masalah ini. Perubahan orientasi lulusan diploma dan sarjana memengaruhi baik kualitas maupun kebijakan yang berkaitan dengan profesi dosen. “Dulu, pembagian antara lulusan diploma dan sarjana terkait dengan orientasi pekerjaan. Namun, kini semuanya lebih terkait dengan aspek pekerjaan. Perubahan ini secara langsung atau tidak langsung berdampak pada profesi dosen,” tambahnya.

Dampak dari minimnya upah dosen adalah terkadang mereka harus mencari pekerjaan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini berdampak pada penurunan kualitas pengajaran. “Di Indonesia, kebutuhan fisik masih menjadi prioritas utama. Memang menjadi dosen adalah pilihan, tetapi dalam praktiknya, banyak orang Indonesia mencari sumber penghasilan lain untuk memenuhi kebutuhan,” ujar seorang Dosen dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR.

Dampak jangka panjangnya adalah menurunnya minat generasi muda untuk menjadi dosen di masa mendatang. Di sisi lain, kualitas dosen juga diprediksi akan menurun karena profesi ini tidak lagi diminati secara luas. “Saat ini, kita melihat penurunan minat untuk menjadi dosen. Selama kebijakan yang ada tetap seperti ini, penurunan ini akan terus berlanjut,” paparnya.

Tagar #JanganJadiDosen yang sedang viral di media sosial X merefleksikan kondisi nyata terkait upah dan kesejahteraan para dosen. Fenomena ini dimulai dari keluhan warganet mengenai rendahnya gaji dosen yang tidak sebanding dengan beban kerja yang mereka emban. Gitadi Tegas Supramudyo, seorang Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Airlangga (UNAIR), turut menyuarakan pendapatnya mengenai hal ini. Menurutnya, pemerintah perlu menetapkan standar kebijakan yang lebih optimal terkait upah dosen. “Saya berpandangan bahwa diperlukan standar kebijakan yang jelas. Kita harus kembali mengacu pada konsep besar pendidikan Indonesia yang belakangan mengalami perubahan yang cepat,” ungkapnya.

Masalah kebijakan upah dosen di Indonesia, menurut Gitadi, memiliki ketimpangan yang signifikan. Hal ini muncul sebagai hasil dari kebijakan negara terkait keuangan dan pendidikan yang masih belum mencapai optimalitas. “Saya melihat ini berkaitan dengan kebijakan negara terutama di bidang pendidikan. Di sisi lain, faktor ekonomi juga ikut mempengaruhi. Dahulu, menjadi dosen adalah pilihan yang diambil oleh lulusan terbaik, namun sekarang banyak yang lebih memilih profesi lain karena tunjangan dan gaji yang lebih menggiurkan,” jelas Gitadi.

Perubahan dinamika sistem pendidikan juga turut menjadi pemicu masalah ini. Perubahan orientasi lulusan diploma dan sarjana memengaruhi baik kualitas maupun kebijakan yang berkaitan dengan profesi dosen. “Dulu, pembagian antara lulusan diploma dan sarjana terkait dengan orientasi pekerjaan. Namun, kini semuanya lebih terkait dengan aspek pekerjaan. Perubahan ini secara langsung atau tidak langsung berdampak pada profesi dosen,” tambahnya.

Dampak dari minimnya upah dosen adalah terkadang mereka harus mencari pekerjaan tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini berdampak pada penurunan kualitas pengajaran. “Di Indonesia, kebutuhan fisik masih menjadi prioritas utama. Memang menjadi dosen adalah pilihan, tetapi dalam praktiknya, banyak orang Indonesia mencari sumber penghasilan lain untuk memenuhi kebutuhan,” ujar seorang Dosen dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR.

Dampak jangka panjangnya adalah menurunnya minat generasi muda untuk menjadi dosen di masa mendatang. Di sisi lain, kualitas dosen juga diprediksi akan menurun karena profesi ini tidak lagi diminati secara luas. “Saat ini, kita melihat penurunan minat untuk menjadi dosen. Selama kebijakan yang ada tetap seperti ini, penurunan ini akan terus berlanjut,” paparnya.

Sebagai solusi, Gitadi berpendapat bahwa pemerintah, melalui kementerian terkait, seharusnya kembali kepada konsep besar awal pendidikan Indonesia. Pemerintah perlu memberikan standar yang lebih jelas terkait rekrutmen dan penetapan gaji dosen melalui sistem klasterisasi. “Bagi saya, yang paling penting adalah kebijakan negara terkait dengan kualitas pendidikan Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah perlu kembali kepada konsep besar pendidikan kita dan memberikan penghargaan bagi mereka yang memilih menjadi dosen,” tegasnya.

Sebagai solusi, Gitadi berpendapat bahwa pemerintah, melalui kementerian terkait, seharusnya kembali kepada konsep besar awal pendidikan Indonesia. Pemerintah perlu memberikan standar yang lebih jelas terkait rekrutmen dan penetapan gaji dosen melalui sistem klasterisasi. “Bagi saya, yang paling penting adalah kebijakan negara terkait dengan kualitas pendidikan Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah perlu kembali kepada konsep besar pendidikan kita dan memberikan penghargaan bagi mereka yang memilih menjadi dosen,” tegasnya.

Versi Lengkapnya Kunjungi Website Universitas Airlangga