[FISIP STATEMENT] Examining Consumption Practices and the Bondage of Consumerism Ahead of Eid

SURABAYA – ADM WEB | Jeratan budaya konsumerisme telah menggerus daya beli masyarakat sejak bulan Ramadan, puncaknya pada saat momen perayaan lebaran. Fenomena tersebut tampak dari padatnya pusat-pusat perbelanjaan, meningkatnya penjualan produk fashion dan elektronik, hingga tradisi mudik dan bagi-bagi THR.

Di balik sucinya perayaan hari raya, terdapatkan praktik konsumsi yang tak boleh terabaikan. Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UNAIR, Ratih Puspa S.Sos., M.A.., Ph.D., melalui FISIP STATEMENT kali ini akan membagikan pandangannya terkait hal tersebut.

Praktik Konsumsi Masyarakat Moderen

Kepedulian terhadap praktik konsumsi mulai berkembang seiring dengan kritik terhadap budaya konsumerisme. Persoalan tersebut mencakup karakter masyarakat konsumen sebagai konsekuensi logis dari kapitalisme tingkat lanjut yang melahirkan identitas baru bagi masyarakat moderen.

Media massa memegang peran penting terhadap fenomena konsumerisme. Representasi tentang budaya konsumsi disuguhkan melalui iklan, film, hingga konten media sosial yang sangat persuasif. Imbasnya, masyarakat menjadi konsumtif dan demam konsumerisme marak terjadi.

Pada masyarakat moderen, konsumsi simbol menjadi sesuatu yang krusial. Mereka tidak sekadar membeli barang atau jasa, melainkan juga nilai dan simbol dari barang tersebut. Simbol menjadi penanda kelas sosial, prestige, gengsi, status, atau apapun yang melekat pada identitas seseorang.

Demikian pula yang terjadi pada momen lebaran, praktik konsumsi menjadi penting untuk menguatkan simbol identitas pada diri seseorang.

“Di sini terdapat identitas yang ingin disampaikan oleh masyarakat moderen, yakni pulang kampung dengan baju terbaik, bawa hape baru, pakai banyak perhiasan. Lagi-lagi menandakan kelas sosial, status, gengsi,” ujar Ratih.

Kendati demikian, praktik konsumsi di Indonesia layaknya dua mata pisau. Di sisi lain, praktik konsumsi mampu memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional.

“Kalo pasar lokal seret, perekonomian juga bakal kena dampaknya. Jika UMKM banyak nggak laku dan bangkrut, akan timbul pengangguran juga. Jadi semuanya itu perlu dilihat dalam konteks yang sesuai dan kegiatan konsumsi pun banyak manfaatnya bagi perekonomian lokal.” ungkap Ratih.

Lebih lanjut, Ratih menjelaskan, budaya konsumerisme menjelang lebaran di Indonesia tidak sampai ke tahap mengkhawatirkan seperti negara maju. Pasalnya, sebagai negara berkembang, masih banyak masyarakat Indonesia yang berasal dari kelas menengah ke bawah.

Praktik Konsumsi dan Makna Lebaran

Oleh karena itu, praktik konsumsi menjelang lebaran tidak sepenuhnya mengubah makna lebaran itu sendiri. Lebaran masih menjadi ajang silaturahmi kelas nasional. Mudik bukan sekadar perjalanan pulang ke kampung halaman, tetapi momen penting untuk mempererat tali persaudaraan dan menjalin hubungan yang lebih kuat.

Ratih menilai praktik konsumsi di Indonesia juga masih sustainable.

“Masyarakat cenderung membeli barang yang bisa di-‘daur ulang’. Baju lebaran masih bisa dipakai bertahun-tahun kemudian. Kadang didonasikan. Sampai akhirnya jadi lap, keset. Belum lagi anak muda jaman sekarang beli baju thrift,paparnya.

Dalam menghadapi jeratan budaya konsumerisme menjelang lebaran, penting untuk merefleksikan nilai-nilai esensial pada momen perayaan tersebut. Lebaran tidak sebatas memamerkan pakaian baru, melainkan tentang kasih sayang, kedermawanan, dan kebersamaan dengan sesama.

Image by Freepik.

Artikel ini merefleksikan nilai SDGs ke-8 dan ke-12 yang dicanangkan oleh PBB. (DFD).

source
https://unair.ac.id