FISIP UNAIR Participates in the Opening of East Side Gallery Meets Surabaya

SURABAYA–ADM WEB | Pasca runtuhnya tembok Berlin, 118 artis dari 21 negara kemudian memanfaatkan sisa-sisa tembok tersebut sebagai media seni. Lukisan di sisa-sisa tembok Berlin itu menyiratkan ungkapan para seniman atas runtuhnya tembok Berlin dan bersatunya kembali Jerman pada penghujung Perang Dingin. Kini, sisa-sisa tembok sepanjang 1.316 meter itu dikenal sebagai East Side Gallery yang terletak di pusat Kota Berlin, Jerman. 

Terinspirasi dari East Side Gallery, Wisma Jerman kemudian berinisiatif menyelenggarakan pameran lukisan dengan mengundang seniman lokal. Pada Sabtu (18/05/2024), pameran bertajuk “East Side Gallery Meets Surabaya” secara resmi dibuka oleh Mike Neuber, Direktur Wisma Jerman. FISIP UNAIR turut diundang untuk meramaikan acara pembukaan tersebut. 

Lukisan untuk Mengungkapkan Kebebasan

“Pameran ini rencananya digelar pada 2020 lalu, tapi rencana itu batal karena pandemi. Penyelenggaraan East Side Gallery Meets Surabaya kemudian kami atur ulang hingga akhirnya terselenggara tahun ini. Tentunya, galeri ini tidak hanya tentang Jerman, tapi juga tentang Surabaya dan kulturnya,” ungkap Mike.

Mike juga berharap East Side Gallery Meets Surabaya dapat menjadi media untuk menyebarkan ide-ide dari East Side Gallery, seperti harapan, kebebasan, dan masa depan yang lepas.  

Selepas pembukaan oleh Mike Neuber, para peserta kemudian diajak untuk melihat seni mural di sepanjang tembok menuju aula. Di aula, para peserta berkesempatan melihat 25 lukisan berukuran 40 cm x 60 cm karya Alfajr Xgo. Selama di aula, Xgo ikut berinteraksi dan menjelaskan latar belakang lukisannya kepada para peserta. 

Keresahan dari Media Sosial

“Semua lukisan di sini bertajuk ‘Mouth Opera’ yang menceritakan kegaduhan yang terjadi di media sosial dan ruang publik. Kegaduhan yang terjadi selama ini merupakan keresahan pribadi yang kemudian saya ungkapkan melalui lukisan. Bagi saya, sosial media yang seharusnya dibuat sebagai media komunikasi justru berubah menjadi media pertengkaran, hasutan, dan caci maki. Potret itu lah yang saya bawa di pemaran ini,” terang Xgo. 

Warna-warni yang Xgo gunakan dalam lukisannya menggambarkan berbagai opini yang disalurkan melalui media sosial, tanpa warna dominan dan tersedan tidak selaras. Begitu pula dengan potongan garis yang ia buat merupakan gambaran dari perdebatan di media sosial yang tidak berujung. 

“Bagi saya, perang opini di media sosial juga menggambarkan keindahan dari demokrasi itu sendiri. Setiap orang merdeka untuk mengomentari apa saja tanpa takut untuk dibungkam. Lukisan saya sekaligus menunjukkan keresahan dan keindahan dari keributan yang mungkin pernah kita alami,” ujarnya. 

Artikel ini merefleksikan nilai SDGs ke-4 Quality Education (AS).

source
https://unair.ac.id